Singkat "PENGADILAN PUISI" Pamusuk Eneste


SEJAK tahun 50-an hingga sekarang, agaknya kesusastraan Indonesia modern selalu di warnai oleh perdebatan/polimik yang menyangkut berbagai hal.
Buku pengadilan puisi Indonesia mutakhir bermula dari salah satu perdebatan, yaitu Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir. “pengadilan” yang diselenggarakan Yayasan Arena  diadakan di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, 8 September 1974 dan diikuti oleh sejumlah pengarang Indonesia.
Slamet Kirnanto bertindak sebagai “jaksa” tuntutannya yang berjul”Saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia Akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan brengsek!”

Taufiq Ismail menerima surat dari Ketua Yayasan Arena, untuk membaca sajak di bandung dan kegiatan sastra. Harian kompas menyiarkan selain  baca puisi juga akan diadakan pengadilan puisi “yaitu penilaian terhadap puisi Indonesia modern, yang ditulis oleh penyair-penyairkita.”mereka menjelaskan bahwa ingin mencari suatu bentuk lain dalam membicarakan Kesusastraan, dalam hal puisi. Bentuk seminar, symposium, diskusi panel sangat di anggap menhemukan. konon menurut gagasan Darmanto, bentuk mengadilan bisa memenuhi persyaratan.
Slamet Kirnanto rupanya yang dijadiakan jaksa .majelis hakim,yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman didampingi Hakim Darmanto Jt. Saksi pun sudah di pilih, Sapardi yang diundang tidak hadir di karnakan kurang enak badan. Karena Sapardi tidak datang saya meminta Hendrawan Nadesul mendampingi saya. Di meja hakim ditutup beludu hijau tapi tidak ada palu siding jadi pakai batu dibungkus Koran, jaksa dan pembela begitu juga, serta hadirin 200 orang di aula Universitas Parahyan itu. Slamet Kirnanto membacakan tuntutannnya, judulnya dengan semangat Zola 76 tahun yang lalu paling kurang pada dua kata pertama : “saya mendakwa kehidupan puisi Indonesia Akhir-akhir ini tidak sehat, tidak jelas dan berengsek!”
Dakwaan merupakan kejengkelan terhadap keadaan kritik puisi, terhadap kritikus M.S. Hutagalung Dan H.B.Jassin, terhadap penjagoaan Subagio Sastrowardoyo oleh MSH serta penjagoan W.S Rendra oleh HBJ. Tuntutan pertama , para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi Mutakhir, khususnya HBJ dan MSH, Harus di pendiunkan dari peranan yang pernah mereka miliki. Kedua, para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicuti-besarkan. Ketiga, para penyair mapan seperti  Subagio, Rendra, Goenawan, dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan para epigonnya harus di kenakan hokum pembangunan, inkarnasinya di buang pula ke pulau paling terpencil. Keempat dan terakhir, horison dan Budaya Jaya harus dicabut HIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku, dan dilarang untuk di baca peminat sastra dan puisi yang kita harapkan sehat dan wajar. Di dasarkan atas “kitab undang-undang Hukum Puisi”.suasana terasa semacam pengadilan plonco-plonci yang tegang bagi yang btidak paham namun gembira bagi bagi yang mau ikut main.
Kursi kosong terletak ditengah ruang pengadilan, sebagai kursi terdakwa tapi mereka lupa dan saksi pun bergantian menduduki kursi terdakwa sesudah menyeretnya kesana kemari.orang jadi lupa pada puisi itu sendiri,tapi lebih mencereweti bernyinyir-nyinyir tentang orang-orangnya. Orang sibuk menimbang jasad dan luput mengukur hakekat. Ada dua macam saksi, ada yang memberatkan dan meringankan tuduhan golongan pertama adalah Sutardji, Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste, dan golongan kedua Saini K.M., Wing Kardjo, Adri Darmadji dan Yudhistira Ardi Noegraha. Saksi berubah dari rencana semula karena Muhammad Ali (Surabaya) dan Umbu Landu Paranggi (Yogya) tidak datang. Si kucing Riau Sutardji, memberikan kesaksian dengan semangat menempeleng yang tinggi. Tentu semua kena cakarannya bahkan dia akan mengadakan acara pembakaran horison, sebagai kucing lucu, Abdul Hadi, yang menuntut surat kabar bandung akan menyerang Goenawan, Hadi mengatakan bahwa sastra Indonesia buruk, belum sebagus sastra jawa kuno.sides beranggapan bahwa sesudah Chairil, tidak ada lagi puisi yang ditulis di Indonesia, saini mengemukakan jalur persajakan Indonesia, yang Nampak dewasa adalah jalur yang diciptakan Goenawan , disempurnakan Sapardi dan diikuti Abdul Hadi. Atas pembela mengenai apa yang dinamakan”situasi brengsek dan tidak jelas” didalam persajakan dewasa, Adhi dan Yudhistira berpendapat bahwa “puisi indonesia baik-baik dan sehat-sehat  saja badan-nya”. Ada Sembilan orang dari hadirin yang maju, Vredi Kastam Marta pengarang SYEH SITI JENAR merasa gusar datang jauh nya untuk menonton “promosi murahan” dan mengusulkan Hakim meminta maaf pada puisi Indonesia. Rustandi menganggap pengadilan ini permainan kanak-kanak,dan menyokong kesaksian sides. Hidayat LPD setuju pengadilan macam begini, menyokong teori saini dan menegaskan bahwa Abdul Hadi penyair epigon. Sumartana mendinyir bahwa dalam acara ini penyair onani bersama. Puisi sekarang tidak ada yang ada hanyalah rangkain kata. Dami N. Toba mengemukakan epigoinisme “Universal’. Pembela menolak keempat diklum tuduhan jaksa dengan uraian panjang lebar dalam semangat pembelaan pengadilan plonco-plonci calon Mahasiswa.
Siding dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusan dengan mengindahkan Kitab Undang-undang Hukum Puisi, mempertimbangkan hokum adat serta membaca cerita adat.
Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa. Diputuskan bahwa Puisi Mutakhir Indoneia memang ada, Cuma belum berkembang, bunyi keputusan:
Pertama,para kritikus sastra tetap dizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskaneksistensinya, dengan catatan harus segera mengikuti kursus penaikan mutu dalam sekolah kritikus sastra, yang akan segera didirikan.
Kedua,para redektur harison tetap diizinkan terus memegang jabatan mereka,selama mereka tidak merasa malu,bila di kehendaki sendiri mereka boleh mengundurkan diri. 
Ketiga, para penyair mapan, established, masih diberi luang untuk berkembang terus. Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif, boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk kedalam panti asuhan atau rumah perawatan epigon. Keempat, majalah sastra horison tidak perlu dicabut surat izin cetak dan surat izin terbit-nya,namun harus diimbeli kata”baru” sehingga menjadi horison baru. Masyarakat luas tetap mendapat izin menbaca sastra dan membaca puisi.
Jaksa Slamet Kirnanto tidak merasa puas dengan keputusan ini dan menyatakan naik banding kepengadilan yang lebih tinggi.hakim membolehkan  nanti di kota-kota lain, pembel merasa heran dengan prestasinya dan minta supaya kopinya ditambah,permintaan dikabulkan.
Tiga belas hari kemudian, di Teater Fakultas Sastra Universitas Indonesia diadakan suatu majelis dengan judul “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” di selenggarakan senat Mahasiswa FSUI, empat pembicara utama, yakni H.B. Jassin, M.S. Hutang, Goenawan Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Di Dalam jilidan stansial yang memuat empat tulisan kritikus dan penyair dimuat pual naskah “tuntutan jaksa” Slamet SuKinanto, tulisan Dami N. Toda, dan kata pengantar pamasuk Enestic. Acara ini tepatnya diberi judul”jawaban marah terhadap “Slamet Kirnanto”.ini lebih mengena karena empat pembicara tidak hadir diaula Umpar menyaksikan sendiri jalan acara itu, serta sesuai dengan tinggi suhu temperamen waktu itu.

Slamet Kinanto, kepada majelis peradilan sekarang ini saya akan menyampaikan sebuah kurukutur yang menggambarkan betapa makin tidak sehatnya ruang kehidupan sastra Indonesia khususnya kehidupan puisi Indonesia,yang menurut pengamatan saya elama ini mengalami semacam polusi dan manipulasi-manipulasi menyebabkann tidak sehat, tidak jelas, sekalian brengsek! Harry Avenling di Malaysia pernah menyatakan “Percobaan Danarto dan Sutardji Calzoum Bachri memang tidak memuaskan segala lapisan pembaca sastra Indonesia paling minimal, keduanya menentang cara dan pokok penulisyang sudah biasa bagi penulis Indonesia.kata Hutagalung seperti yang dikutip dalam berita itu, Subagio mengalami perkembangan yang mantap, terlihat dalam kumpulan sajak simphoni, daerah perbatasan, dan salju. Baginya yang mengasikkan sajak-sajak Subagio adalah gagasan yang dilontarkannya yang sering menggetkan,rumit tapi slalu merangang k’ita untuk lebih memahami “. Menurut Hutagalung puncak keberhasilan Subagio adalah pada sajak “dan kematian semakin akrab”karena kekuatan emosional cukup terpenuhi. Dalam kesempatan itu, H.B. Jassin naik pitam menolak keputusan bekas anak dididknya itu. Rendra. H.B. Jassin menjatuhkan pilihan pada nomor W.S. rendra sebagai penyair terbesar saat ini dengan alasan: Rendra berhasil menggambarkan gagasan dalam lekuk-liku kejiwaan yang sulit diraba dan pikiran-pikiran yang tinggi dengan kata-kata sederhana dari kehidupan sehari-hari dan imaji-imaji yang kongret. Hutagalung mengkepis dengan mengemukakan keberatanya tentang sajak Rendra,baginya sajak-sajak Rendra memang lancer dan merdu, tapi sering tergelincir pada permainan kata yang terlalu manis dan bombastis, penggunaan kata yang bayank sehingga tidak subtil. Dalam sajak nya banyak klise-klise dari Bibel. Dilihat dalam kumpulan sajak masmur mawar dan sajak-sajak sepatu tua. katanya diam-diam H.B. Jassin sedang mengumpulkan karya-karya dan informasi tentang Rendra dari periode awal. Popo iskandar, seorang pelukis senior, dosen IKIP Bandung dan anggota akademik Jakarta, perlu ikut berbincang-bincang dengan sajak-sajak Sutardji setelah pemunculanya penyair ini ditaman Ismail Marzuki dalam acara pembacaan sajak-sajak kemudian menimbulkan polimik dikalangan luas.
Kita lanjutkan lagi separuh lukisan karikatur yang selebih-lebihnya. Nada saling memuji,dalam kesempatan lain berbagai media penyir Abdul Hadi W.M., yang dikenal juga sebagai wartawam,telah menulis balasan artikel tentang puisi Modern Indonesia dengan pokok pembicaraan puisi Subagio, Rendra, Taufik Ismail, dan dia sendiri. Seolah tidak ada penyair lain selain mereka.
Kita akhirnya terbiasa pada hal-hal yang tidak relevan, terbiasa dengan dengan permasalahan yang bukan sebenarnya.
Dalam keadaan demikian, Seperti ucapan sastrawan muda, “kentut” Rendra atau Goenawan dan Taufiq, lebih di heboh dan dianggap penting dibandingkan lahirnya gejala baru dalam karya sastra (puisi) yang mungkin belum cukup dikenal umum. Sungguh tragis.
SEMENTARA orang menganggap saya memuji-muji keberhasilan Sutardji membela setengah mati. Perhatian yang besar saya curahkan kepada karya Sutardji hanya memperingatkan perlunya bertindak adil terhadap pencapain orang lain. Perlu dicatat bahwa saya tidak meniadakan kehadiran dan peranan yang pernah di miliki Subagio, Rendra, Gounawan, dan sebagainya. Subagio pernah mengantarkan kita pada sikap penciptaan yang yang tegak atas pribadi sendiri. Rendra berjasa dalam mendekatkan puisi pada public, demikian juga Taufik Ismail, sehingga kedua nya memiliki popularitas yang cukup. Sedangkan Goenawan yang pernah mengembalikan kewibawaan puisi Indonesia dari kemelosotannya pada tahun 60-an. Akhirnya dari siding peradilan yang sekarang ini, ada pendirian yang mungkin cukup diamenteral, membelah wilayah menjadi dua ujung yang berbeda kodrat,gaya hidup, dan suasana batin pengalamnya.
Sebagai Jaksa penuntut umum dalam “peradilan puisi kontenporer”,mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1.      Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung garus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki,
2.      Para editor majalah sastra, khususnya horison (Sapardi Djoko Damono) dicitibesarkan.
3.      Para penyaier established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan epigon harus dikenakan hukum pembuangan.dan inkarnasinya dibuang kepulau yang paling terpencil.
4.      Horison dan Budaya Jaya harus dicanuy SIT nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan wsehat dan wajar.

H.B. Jassin, Demikian pula rupanya di antara orang yang mengetahui surat kabar, salah paham jadi lebih besar lagi, karena laporan itu kehilangan susana yang mestinya meliputi ruangan “pengadilan”  itu. termasuk golongan ketiga, tapi dengan catatan saya tidak marah, hanya timbul kesungguhan tekad untuk mencari kebenaran materiil. Sebagai orang yang bisa mengamati imajinasi bagaimanapun anehnya,dan juga sebagai orang yang berpijak pada dunia kenyataan, saya pun meminta pertanggung jawaban menurut kenyataan yang saya hadapi. Dalam perkembangan kritik sastra di indonesia kita telah mengalami beberapa fase. Di masa sebelum perang, kita hanya megenal kritik sastra impresionistis yang tidak didasari oleh pengetahuan ilmiah tentang kesusastraan, paling-paling hanya sekedar pengetahuan elementer untuk keperluan pengajaran di sekolah menengah. Yang dapat dilakukan oleh masing-masing ialah tanpa pamrih berkarya menurut kemampuannya yang paling puncak dan menyerahkan hasilnya dan penilaian selanjutnya kepada masyarakat dan zaman.

M.S. Hutagalung, Pemikiran ilmiah juaga memerluakan kerendah-hatian dan tetap menghormati pikiran orang lain dan kita juga perlu mengembangkan demikrasi, bukan tirani atau despotisme pemikiran.
Saya berpendirian bahwa disenangi atau tidak disenangi pengarang, FSUI harus tetap mengutarakan pendapat-pendapatnya terhadap karya sastra.
Untuk mengulangi hal-hal yang telah saya kemuukakan di atas, saya mengambil beberapa kesimpulan :
1.  pandangan-pandangan slamet kimanto adalah pandangan-pandangan yang tidak sehat, bau apak yang cukup berbahaya sebenarnya bagi generasi muda, terutama karena ia menggap dirinya sebagai pembela seniman-seniman muda itu. Memforsir suatu pengakuan dengan teriakan keras dan tidak demokratis adalah tidak sehhat bagi perkembangan kesusastraan kita khususnya, kebudayaan kita umumnya.
2.  Saya berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau statement tidak ada harganya tanpa di seratai bukti-bukti dan argumentasi.
3.  Bahwa perkembangan puisi kita brengsek dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidaak benar. Sudut pandang kirnantolah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan kirnanto bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.
4.  Untuk menilai seseorang, lebih baik langsung meneliti karyanya sebaagaimana adanya tanpa menggharapkan yanng diteliti sebagai ini dan itu. Kalau menilai H.B. Jassin atau M.S. Hutagalung, langsunglah menilai karyanya tanpa menghubungkan harapan agara mereka sebagai “pengarah” sastra indonesia. Tuntutan itu menjadi tuntutan yang tidak wajar untuk mereka.

Goenawan Mohamad, Tentang tuntutan Slamet Kirnanto.
Menghantam H.B. Jassin, mengancam Horison, menolak epigonisme terhadap barat atau lainnya. Semua itu merupakan klise “pengadilan” itu menjadi botol buat kecap yang manis maupun asin lagi.
Tentang “Hakim” Dan isi Pembicaraan. Saya dengar “hakim” di hari itu adalah Sanento Yuliman dan Darmanto Jt. Bagi saya hakim adalah burung hantu, bukan burung merak. Saya tidak tahu bagaimana penilaian Taufiq Ismail sebagai “pembela” terhadap para “hakim” sebagai dokter hewan, ia tentunya bisa cepat mengenal jenis-jenis burung. Tapi ia lupa mengajukan eksepsi.
Tentang penyair yang sudah “Established”. ada serangan terhadap para penyair yang sudah “established”. saya tak tahu persis arti kata Inggris ini. Tapi jika saya boleh artikan menurut penafsiran saya, maka setiap seniman punya nasib - malah kehendak - untuk jadi “established”.
Tentang Kehidupan Puisi. Sekali lagi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang kita butuhkan adalah puisi yang berharga - hingga lebih baik seorang penyair berhenti menulis dari pada ia memaksa diri kasih unjuk tenaganya tapi cuma menghasilkan ampas.
Tentang penyair yang sudah”Established” lihatlah Sutardji Calzoum Bachri, bila menulis terus dengan gaya yang begitu, sesuai dengan dirinya, atau sejumlah penyair lain mengikuti roraknya, ia bisa membosankan bagaimana ia sudah membosankan dengan halnya membaca puisi mempertontonkan kegemarannya minum bir.Harry Aveling dan H.B. Jassin mempersoalkan angkatan 66 sudah mampus” saya bsangat heran kenapa di persoalkan. Apakah kita lupa bahwa Chiril Anwar sudah lama tidak menulis puisi lagi? Tentang kehidupan puisi, tokoh kita adalah puisi, bukan penyair. Yang dibutuhkan puisi yang berharga himgga lebih baik seorang penyair berhenti menulis daripada memaksa diri kasih untuk tenaganya tapi Cuma menghasilkan
ampas. Sejarah, berulang dan puisi Indonesia jalan terus, maka pak tua jangan menangis ! tidak ada salahnya puisi hidup tanpa kita.

Supardi Djoko Damono, Beberapa hari sesudahnya, peristiwa itu diberitakan di harian kompas dan ternyata mendapat perhatian dari beberapa pihak. Taufik Ismail mengatakan bahwa setelah peristiwa itu, andai saya hadir, saya akan ditunjuk sebagai mendampinginya”pembela”puisi kita. Puisi kita saat ini beragam dan sehat. Masih di tulis oleh penyair yang sebaya saya dan mulai ditulis oleh yang lebih muda. Puisi kita tetap juga ditulis meskipun tanpa didorong-dorong berbagai sayembara, meskipun tidak banyak penerbit yang bersedia menerbitkanya. Berita Koran tentang peristiwa itu bisa menimbulkan kesan seolah-oleh sekelompok penyair muda sedang memberontak terhadap nilai yang ditegakkan oleh penyair established,yang biasanya lebih tua. ternyata peristiwa itu bukan pemberontakan kaum muda kepada kaum tua, sebab si penuntut usia nya lebih tua beberapa tahun dari si penyair yang dijadikan bahan ejekan dan tuduhan, yang jauh lebih berbakat dan telah menerbitkan yang jauh lebih baik kualitasnya. Kalau itu semua merupakan penemuan Slamet Kirnanto, ia patut kita kagumi. Sayang sekali ternyatab bukan. Sardono W.Kusumo jelas bukan penemuanya orang mulai membicarakan sardono dua atau tiga tahun yang lalu.
Tuntutan Slamet Kirnanto ditulis dengan bahasa yang buruk, tidak berisi hal-hal yang baru, baik tidak kocak. Barangkali kita harus menghargai Slamet Kirnanto karena keberaniannya tampil di Bandung tempo hari, namun sya berpendapat bahwa ia adalah tokoh yang terlalu serius untuk pertemuan serupa. Suasana pasti bisa lebih kocak seandainya Darmanto Jt yang bertindak sebagai penuntut umum. Dan harus kita hargai kecerdikan akal Darmanto Jt yang menghasilkan sebuah pertemuan yang unik yang menjadi alas an pertemuan di FSUI kali ini.

Darmanto Jt, Pada mulanya kita lihat, alangkah sulit penyair Indonesia keluar dari bayang-banyang sang penyair: Chairil Anwar. Kebutuhan akan mitos peraktis untuk mempertahankan eksistensi puisi indonesia telah memaksa orang menjadiakan Chairil Anwar sebagai berhala apalagi pada masa-masa surut puisi indonesia yang biasa disebut sebagai malaise itu. Pada pokoknya, administrasi kepenyairan Indonesia: beres. Kalau seorang turis ingin ketemu penyair kelas II, tak usah ribut-ribut cari ke Yogya atau semarang; cukup ke Jakarta dia akan ketemu banyak. Atau kalau seorang penerbit ingin membuat iklan puitis, jangan sampai keliru alamat minta dari penyair kelas I. Job description dari tiap penyair akan jelas dalam suatu katalogus.
Masih tentang Chairil Anwar. Bagaimana dengan ke giatan plagiatnya? Perlu diadili atau tidak? Ini penting , demi fair-nya kesusastraan Indonesia. Bukankah hukum kita junjung sangat tinggi kalau memang kita ingin menjadi negara modern? Dan ini menyebabkan seseorang yang berjasa dulu dalam ke penyairan di tanah Air kits bisa diseret dan di turunkan pankatnya. Ini merepotkan, tentu saja.
Kalau demikian, apa pengadilan penyair mesti dilepaskan dari pengadilan puisi, dan pertimbangan kenaikan pangkat penyair dipisahkan dari pertimbangan kelas puisi?
Bukan main repotnya.
Mana yang tepat? Mana pula yang benar?
Eh. Eh. Sudah sangsi pada integritas pengadilan?
Pengadilan yang menentukan.
Jadi?
Apa salahnya kalau proyek kesenian Universitas Diponegoro akan menyelenggarakan forum pengadilan puisi-puisi Indonesia? Sementara ini gambarannya sudah jelas. Ketua majelis hakim: Sapardi Djoko Damono. Jaksa penuntut: Sanento Yulaiman. Saksi-saksi ahli: H.B. Jassin & Arief Budiman Pembela: M.S. Hutagalung. Sidang pertama: Pengadilan Chairil Anwar.

Komentar

Postingan Populer